Sang ayah lalu bertanya kepada si anak, “Nak, itu apa?” Si anak menjawab kaget, “Masa ayah tidak tahu, itu kan burug gereja!” Lalu mereka mengobrol lagi, sementara burung gereja itu masih di sana. Di tengah perbincagan sang ayah bertanya lagi, “Nak, itu burung apa, sih?” Si anak kembali menjawab, “Itu burung gereja, Yah”.
Perbincangan dilajutkan lagi dan sang ayahkembali bertanya dengan petanyaan yang sama. Si anak mulai kesal dan jawabannya hanya dua kata saja, “Burung Gereja!” Maka dengan kesal dan geram si anak berkata kepada ayahnya, “Masa ayah tidak tahu kalau itu burung gereja, dari tadi saya sudah katakan bahwa itu burung gereja. Ayah itu bodoh atau pura-pura bodoh!”
Mendengar jawaban itu, sang ayah tersenyum sambil berpamitan untuk masuk ke dalam rumah sebentar untuk mengambil sesuatu. Sang anak yang tadinya bangga menceritakan dirinya, terpekur dengan muka kesal mamandangi ayahnya yang masuk ke dalam rumah. Selang beberapa menit, sang ayah keluar dengan membawa sebuah buku diary (catatan harian) yang sudah kotor dan lusuh. Dia menunjukkan sebuah catatan pribadinya kepada anaknya ini, yang dicatat kira-kira tujuh belas tahun yang lalu, ketika anaknya berumur antara 4-5 tahun. Pada salah satu halaman terdapat tulisan tangan ayahnya yang menceritakan sebuah kisah.
“Ketika itu, aku dan Calvin anakku yang menginjak usia lima tahun sedang duduk-duduk di beranda gubug kami. Sewaktu aku bercerita tentang pohon, tiba-tiba ada seekor burung gereja hinggap di dahan pohon tersebut. Calvin bertanya apakah yang hinggap itu, dan aku menjelaskannya bahwa itu burung.
Kemudian dia bertanya lagi burung apa, kujelaskan itu burung gereja. Calvin terus bertanya tentang rumah burung, makanannya, ibunya burung, dan sebagainya.”
“Tidak jarang dia bertanya berulang-ulang untuk pertanyaan yang sama. Terbesit dalam hati kejengkelan, namun tetap kutahan karena disinilah aku melatih diriku dan berusaha terus menerus untuk mangasihi akankku.”
Penggalan tulisan harian sang ayah ini membuat sang anak yang duduk di sampignya menitikkan air mata, karena Calvin itu adalah dirinya sendiri. Sang anak mendapat hikmah yang luar biasa, bahwa ilmu dan predikat yang dimiliki dan disandang sebenarnya tidak memiliki arti apa-apa jika tidak diwarnai oleh kesabaran dan kerendahan hati. Sekolah hanyalah salah satu cara untuk berhasil dalam menempuh ujian, namun pengalaman hidup dan pergaulanlah yang menentukan apakah kita mampu lulus dari ujian kehidupan. (Parlindungan Marpaung, Fulfilling Live)
Pertama kali aku membacanya, wuih subhanalloh ada sedikit haru dan menggetarkan hatiku. Ternyata semuanya hanyalah semu dan tidak ada yang bisa dibanggakan. Sarjana ? S1? S2? S3? Tidak ada artinya apa-apa jika tidak dibarengi kesadaran yang kuat untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Semakin tinggi ilmu seseorang maka seharusnya semakin sadar bahwa dirinya semakin bodoh. Tidak ada yang bisa dibaggakan di dunia ini kecuali hanya sesaat saja dan setelahnya tidak berguna sama sekali bagai debu-debu berterbangan dan buih di lautan.
Teman-teman marilah kita bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikanNya kepada kita, jerih payah dan ketekunan orangtua dalam mendidik, mengawasi, membesarkan kita hingga seperti ini (apalagi sudah S2 dan bentar lagi bisa jadi S3…)merupakan anugerah yang tidak ternilai harganya sehingga kita pantas untuk memberikan yang terbaik kepada ke dua orangtua kita. Dan ketika kita semua sudah “sukses” kelak, maka kita tidak boleh sombong dan ujub ingat pepatah “kacang tak boleh upa pada kulitnya”
Satu lagi ..Teringat sebuah cerita yang begitu menginspirasi diriku yaitu tentang sebuah akar pada tanaman: bagaimana sang akar yang begitu susah payah harus menembus cadas tanah dan batu yang begitu keras dan begitu dalam demi mendapatkan air untuk menghidupi saudara-saudaranya (pohon,batang, ranting, daun, tunas, bunga dan buah). Karena begitu gigihnya akar mencari air walau harus susah payah maka daun, batang, ranting pun dapat tumbuh dengan baik bahkan hingga berbunga dan berbuah serta menjulang tinggi gagah di atas permukaan tanah. Namun akar tetaplah akar, dia tidak mau menampakkan dirinya barang sedikitpun kepermukaan tanah ,biarlah akar tetap menjadi akar di dalam tanah namun begitu besar peranannya dalam menyokong, menyemangati dan membantu kehidupan “saudara-saudaranya..” Semoga bermanfaat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar