Sabtu, 07 November 2009

Sebuah Harapan Dalam Sebuah Momentum

Sebuah Harapan Dalam Sebuah Momentum
Saat-saat awal
Saat itu adalah sebuah momentum yang menurutku cukup menyenangkan dalam sebuah penggalan kisah hidupku. Saat-saat dimana aku mulai merasakan sebuah jenjang kehidupan yang seharusnya lebih tinggi dalam sebuah bingkai kedewasaan dan kemandirian jika dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Ya, saat itu aku mulai merasakan sudah bukan anak SMA lagi melainkan aku sudah anak kuliahan alias mahasiswa karena aku telah dinyatakan diterima di salah satu fakultas di UGM. Terbayang saat menjadi mahasiswa nanti akan banyak hal-hal baru yang bisa saya dapatkan seperti teman2 baru, ilmu baru, lingkungan baru, “derajat” baru yang lebih tinggi karena aku mahasiswa dan hal-hal lain yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya di SMA. Hal itulah yang semakin menambah “ghiroh” ku untuk segera mewujudkan mimpi-mimpiku ketika menjadi mahasiswa nanti , apalagi aku akan kuliah di UGM yang kata bapaku adalah universitas terbaik di negeri ini, kata ibuku, UGM adalah universitas terbesar di negeri ini, kata pamanku, UGM adalah universitas tertua di Indonesia, kata teman-temanku, UGM adalah salah satu kampus yang masuk 100 besar dunia dan merupakan universitas riset kelas dunia dan lagi kata orang2, mahasiwa UGM itu orangnya pinter-pinter.
Lantas aku berpikir bahwasanya alangkah beruntungnya aku bisa kuliah di UGM walaupun pada kenyataanya UGM sudah bukan merupakan kampus “kerakyataan” lagi dan hanya orang-orang berprestasi dan berduit lebih yang bisa merasakan kuliah di UGM. Namun, apapun itu aku sudah sangat bersyukur atas apa yang Allah berikan untukku.
Lalu, timbullah sebuah pertanyaan besar dalam diriku, apakah benar ketika aku kuliah di UGM yang memiliki banyak keunggulan daripada kampus2 lain di Indonesia, benar-benar akan menjamin kita menjadi seorang “pahlawan” nantinya. Padahal dalam sejarah banyak orang gagal dalam kuliahnya alias DO, bisa menjadi “pahlawan”, sebut saja Bill Gates yang tidak pernah menamatkan kuliahnya namun begitu sukses dalam karir hidupnya dengan Microsoft temuannya, Einstein yang melarikan diri dari kuliahnya karena gak mau susah-susah mikir malah menjadi kondang karena berbagai macam temuannya, atau mungkin seorang Aa’ Gym, sang Da’i kondang dan pengusaha sukses yang sampai sekarang tidak pernah melihat ijazah teknik elektronya di ITB dan sederat “pahlawan”lainnya yang tidak pernah merasakan bangku kuliah sama sekali.
Wah, semakin membuat binggung saja hal ini. Lantas muncul pertanyaan selanjutnya, untuk apa aku ini kuliah? Dulu memang gak pernah terpikirkan sama sekali, waktu itu cuma kepikiran sehabis lulus SMA ya terus kuliah, terus kerja dapat uang banyak dan seterusnya…apakah “Cuma” ini saja? Mengikuti arus? Kebanyakan para “pahlawan” dalam sejarah, selalu berpikiran jauh menyimpang dari arus logika umum, dan jauh di luar kotak. Mereka menciptakan sebuah ruang tersendiri yang bernama “mimpi” yang akan menjadi sebuah kenyataan pada akhirnya nanti. Tidak akan pernah berwujud menjadi kenyataan jika tidak diawali dengan mimpi-mimpi yang besar, bukan angan-angan kosong. Jadi mimpi adalah proses awal dari munculnya suatu tindakan dialam kenyataan kita.

Tiga macam kecerdasan
Jadi orang-orang hebat seperti Einstein, Bill Gates hingga Aa’ Gym adalah orang-orang yang “cerdas” walau DO dari kuliah mereka. Namun, pada kenyataannya ternyata bukan kecerdasan intelektual saja yang harus diasah oleh setiap orang, namun ada kecerdasan-kecerdasan yang lain yang perlu untuk ditumbuh kembangkan, seperti kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual contohnya berupa kemampuan seseorang untuk mengingat sesuatu, menghafalkan dan menghitung dan hal ini bisa dilatih sebagaimana kita belajar di sekolah, kuliah atupun dilembaga-lembaga bimbingan belajar. Kecerdasan emosional contohnya berupa empati, kesabaran, ketenangan, kedewasaan, kepekaan, kedisiplinan dan kecerdasan spiritual contohya berupa akhlak dan sifat-sifat fitrah manusia serta bentuk ketaatan manusia pada sang pencipta.

Hipotesa dan Sistem pendidikan
Dengan hal tersebut aku bisa merasakan dan membuat sebuah sedikit “hypotesa” bahwasanya sebuah institusi, sekolah, kampus ataupun lembaga-lembaga pendidikan merupakan sebuah system untuk mengasah dan menumbuh kembangan kecerdasan intelektual atau sering disebut dengan IQ (Intelegesia Quotient). Apa yang pernah aku dapati hampir 90 persen mengarah ke situ dan hasilnya output dari institusi2 tersebut memang intelek dan cerdas. Artinya terjadi semacam klusterisasi tujuan proses pembinaan dalam sebuah system pendidikan yang diterapkan. Seharusnya setiap institusi yang ada seperti sekolah dan kampus bisa meng”Cover” semua jenis tingkat kecerdasan yang ada baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Dengan hal tersebut maka akan didapatkan 4 kualifikasi kredibiitas yang di butuhkan oleh bangsa ini yaitu kredibilitas moral, kredibilitas intelektual, kredibilitas, professional, dan kredibilitas sosial.
Bisa jadi system pendidikan di Negara kita sudah ter”doktrin” dengan sebuah sistematika pendidikan bagi kepentingan dunia barat. Kita semua tahu bahwasanya Negara kita pernah dijajah selama 3,5 abad oleh negerinya Rud Van Nisterloy dan Edwin Van der Sar itu. Cukup lama memang sehingga dampaknya cukup signifikan bagi bangsa ini. Setelah puas menguras semua kakayaan kita, kemudian untuk membalas jasa baik bangsa kita, Belanda mengijinkan dengan bebas agar orang-orang asli Indo dapat studi ke Belanda dan Eropa. Hasil taktisya adalah Negara kita bisa merdeka dengan usaha rakyatnya sendiri tahun 1945. Namun multiple impact adalah dampak strategis mereka dalam jangka waktu yang lama bisa mengubah pola pikir dan peradaban bangsa kita menjadi sekulerisme, materialism dan hedonisme.
Sekulerisme adalah paham yang memisahkan antara dimensi moral (agama)dengan dimensi duniawi (materi) ,contohnya adalah pendidikan tidak ada kaitannya dengan moral dan agama. Padahal fitrohnya, moral dan pendidikan itu tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Ortientasi dari materialism dan hedonism adalah materi dan keduniawian, artinya segala aktivitas hanya untuk memenuhi aspek materi berupa kesenangan hawa nafsu. Orang-orang barat mengatur waktunya dalam dua hal utama yaitu waktu produksi dan waktu konsumsi. Lima hari untuk berproduksi dan hasilnya akan ia habiskan untuk dikonsumsi pada dua hari selanjutnya. Tapi kalau orang-orang beragama tujuan hidupnya adalah beribdah, sasarannya adalah menggapai ridhoNya dan targetnya adalah surgaNya sehingga, waktunya ia habiskan untuk beramal, dengan rumus: 1 unit waktu = 1 unit amal = beberapa unit pahala. (anis matta)
Oleh karena itu tidaklah heran jika banyak orang-orang kita yang mengaku bangga jika bisa sekolah di Belanda, Eropa atau Amerika. Kalau belum ke Eropa belum “afdhol” ilmunya. Kiblat pendidikan kita sudah mengarah pada Negara-negara tersebut maka sadar atau tidak sadar kualifikasi – kualifikasi kredibilitas dan kualifikasi kecerdasan yang seharusnya di miliki seseorang tidak terpenuhi dengan baik dan cederung tidak seimbang. Dampaknya adalah banyak orang cerdas di Negara kita namun cerdas untuk dirinya sediri, banyak orang kaya dinegeri kita namun kaya untuknya sendiri dan yang miskin semakin miskin yang bodoh semakin bodoh,yang pejabat semakin korup ,kebal hokum+ anti KPK ,yang nyuri ayam dihakimi rame-rame, anak-anak SD ketahuan judi dipenjara 2,5 tahun, pesawat+alutsista tanpa ditembak jatuh sendiri, banyak “erupsi” buatan di hotel2 berbintang yang menyebabkan banyak masyarakat kecewa karena Wyne Roone dkk batal ke Senayan, tanah2 leluhur kita dicaplok Negara tetangga, dan seabrek masalah yang lainnya.
Untuk itulah aku berharap semoga masa depan kita sebagai generasi muda harapan bangsa, bisa memberikan sesuatu yang nyata bagi kemajuan masyarakat dan bangsa ini. Syaratnya adalah semua tingkat kualifikasi kredibilitas dan tingkat kecerdasan tersebut dapat terdistribusikan secara merata dan seimbang pada diri kita dan berharap ada satu spesialisasi yang benar-benar menonjol pada diri kita hingga kita menjadi ulung karenanya. Itulah yang dinamakan kontribusi.
Terjawab sudah semua keraguan yang ada pada diriku bahwasanya aku kuliah agar menjadi “ulung” dan mejadi orang yang memiliki kompetensi dan spesialisasi agar dapat memberikan kontribusi pada bangsa ini. So, menjadi cerdas intelek, cerdas spiritual, dan cerdas emosional adalah sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh diri kita agar sikap dan prilaku kita selalu diridhoiNya dan sedangkan aspek profesional dan sosial kita butuhkan untuk menjamin tindakan kita berkualitas dan berdaya dukung yang kuat.
Inilah sebuah peluang dalam sebuah momentum, dimana selama 4 tahun kita akan bersinggungan dengan dunia kampus atau bisa dikatakan sebagai training pendidikan yang kata Ary Ginanjar (penemu ESQ) adalah sebuah pemborosan uang dan waktu. Namun sebenarnya tidak dengan demikian jika kampus kita ini memiliki sebuah system, biah, lingkungan dan suasana atau kondisi yang dapat mengembangkan ketiga kecerdasan tersebut. Ini bisa diciptakan jika orang-orang didalamnya memiliki tekad yang kuat untuk itu. “Jika kamu telah membulatkan tekad, maka cukup bertawakallah kamu hanya kepada Allah” (Q.S. Ali Imran: 159).Kita tidak bisa memiliki dan menonjolkan ketiga-tiganya tetapi kita bisa memilikinya dengan seimbang dan cukup menonjolkan salah satunya. Prinsipnya adalah setiap orang tidak boleh menutup rapat salah satu atau dua kecerdasan yang ia miliki demi menonjoklan kecerdasan yang lainnya.

Wassalamu’alaikum. Wr.Wb

by Dian Hudawan Santoso

1 komentar:

Dian Hudawan Santoso mengatakan...

Laa izzata illabiljihad!!