Rabu, 27 Mei 2015

Mau dibawa ke mana sepak bola Indonesia?

    Beberapa bulan terakhir ini media sosial maupun elektronik sangat gencar memberitakan “kekisruhan” antara PSSI dengan Kemenpora. Pertanyaanya adalah mengapa sedemikian gencar? Bahkan menjadi treding topik dalam berbagai media harian lokal maupun nasional? Pada dasarnya jawabannya adalah sederhana bahwa masalah itu sangat erat kaitannya antara sepak bola dan politik.  Dua hal itu adalah sangat berbeda, sebab sepak bola adalah ranah dalam bidang olahraga sedangkan poltik adalah cara seseorang atau sekelompok orang untuk menguasai tampuk kekuasaan dalam suatu pemerintahan. Jelas dua hal yang sangat-sangat berbeda. Meskipun berbeda tetapi jika kita telusri  benang merahnya pasti ada ketemu. 

         Kita tahu bahwa sepakbola adalah olahraga yang paling  populer dan paling digemari oleh penduduk bumi ini tak terkecuali di negara kita tercinta. Sepak bola adalah olahraga yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan olahraga lain karena sepakbola merupakan suatu simbol pemersatu bangsa. Boleh dikatakan bahwa sepak bola adalah salah satu simbol nasionalisme bangsa. Begitu membahana dan begitu gegap gempita ketika banyak orang antusias mendukung tim kesayangannya dengan datang langsung  ke stadion.

Kita ingat tahun 2010 yang lalu ketika timnas Indonesia bertempur di AFF Suzuki Cup. Kebetulan Indonesia jadi tuan rumah ajang dua tahunan yang diikuti negara-negara ASEAN tersebut. Timnas Indonesia belum pernah juara diajang tersebut, paling mentok hanya runnerup beberapa kali artinya timnas garuda hanya mentok sampai partai final tetapi untuk urusan membawa thropy juara tidaklah pernah kesampain. Ekpestasi dari masyarakat bola tanah air yang begitu tinggi pada waktu itu agar timans garuda meraih juara.

Benarsaja permainan menarik dan atraktrif dengan gaya tiki takanya Barcelona FC selalu diperlihatkan Firman Utina cs kala bersua musuh-musuhnya. Kemenangan demi kemenangan selalu diraih pada tiap pertandingan dengan permainan yang menawan dan menggairahkan. Masyrakat dari penjuru tanah air berbondong-bondong datang ke Gelora Bung Karno untuk mendukung dan melihat langsung bintang-bintang pujaan mereka. Stadion berkapasitas 100 ribu penonton penuh sesak dan tampaknya stadion tebesar di Asia Tenggara tersebut tidak mampu lagi menampung jumlah penonton yang begitu banyak. Kejadian itu memaksa panitia pelaksana atau panpel memasang layar lebar di luar stadion agar penonton yang datang tidak terlalu kecewa. Bagi jutaan penggemar sepak bola di tanah air yang tidak sempat nonton langsung di stadion, dapat menikmati permainan yang memikat itu di tv swasta nasional. Hal ini menjadi suatu fenomena yang luar biasa bahwa sepakbola ternyata dapat menumbuhkan semangat nasionalisme. Semua masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke bersatu padu memberi dukungan dan semangat kepada timnas Indonesia.

Pada saat itu aku juga merasakan euforia dan  begitu luar biasa permainan Ahmad Bustomi cs, permainan yang sangat menghibur dan tidak membosankan. Pada akhirnya timnas yang ditangani Alfred Ridel sampai ke partai puncak melawan Malaysia. Sangat disesali ketika bermain di St. Bukit Jalil tuan rumah Malaysia menang telak 3 gol tanpa balas. Kejadian itu sangat disayangkan oleh berbagai pihak karena pada saat babak penyisihan Oktavianus Maniani &  Irvan Bahdcim cs menang telak 5-1. Hasil yang sangat diluar dugaan gawang Markus Horison bisa dibobol dengan mudahnya oleh Syafie Shali cs. Meskipun dikandang kita bisa menang 2-1 lewat goal Muhammad Nasuha tapi hal itu sama sekali tidak bisa membantu timans garuda merasakan gelar untuk pertama kalinya. Padahal, tinggal selangkah lagi. Dengan hasil ini kita bisa merasakan bagaimana begitu kecewanya masyarakat bola di tanah air.

Beda lagi dengan kisah Timnas U19 yang mencuat setelah menjuarai AFF U19 dan lolos ke Piala Asia U 19  pada tahun 2013 lalu. Evan Dimas dan kawan-kawan begitu dielu-elukan oleh para pecinta bola di tanah air. Diliat dari cara mereka bermain benar-benar sangat menarik dan menggairahkan serta tak kenal lelah.  Bahkan sebelum mereka menjuarai even tersebut mereka sudah lebih dulu juara 2 kali di salah satu turnamen sepakbola internasional di Hongkong. Maka tak heran kemudian Zulfiandi cs ditargetkan masuk 4 besar Asia sehingga dapat jatah tiket langsung untuk ikut Piala Dunia di Selandia Baru tahun 2015.

Indra Syafrie sepagi pelatih kepala pada waktu itu mensyaratkan setiap pemain harus memiliki   skill, teknik, stamina, intelegensia dan mental yang baik.  Syarat yang begitu kompelt sebagai pemain sepakbola, sehingga memaksa coach dari Padang tersebut harus rela “blusukan” ke seluruh pelosok tanah air mencari bakat-bakat muda yang berpotensi melambungkan dan membawa kejayaan bagi timnas indonesia. Hasilnya pada saat itu kita bisa melihat aksi-aksi yang menawan oleh sosok Ilham Udin Armayn dari Ternate Maluku Utara, Zulfiandi dari Aceh, Maldini Pali dari Mamuju  Sulawesi Barat, Yabes Roni dari Flores NTT, Sahrul Kurniawan dari Ngawi, Muchils Hadi dan Hansamu Yama dari Mojokerto, Dinan Xavier dari Bantul Jogjakarta hingga sang super star Evan Dimas dari Kota Pahlawan Surabaya.

Dengan berbagai program latihan yang teratur dan disiplin telah membuat mereka menjadi juara dan meraih berbagai prestasi serta telah  menjadikan mereka bintang-bintang muda yang terkenal pada waktu itu. Berbagai tawaran iklan dan program dari televisi swasta mulai berdatangan. Namun menejemen dan tim pelatih telah sepakat bahwa pemain harus fokus untuk berlatih agar dapat mewujudkan mimpi tampil di Piala Dunia U 20.  Program Tur Nusantara  baik Jili 1 dan 2 dimana timnas U 19 bertanding melawan tim lokal U 21  digulirkan. Tur Timur Tengah dilakukan dengan melawan kesebelasan dari  negara-negara Arab seperti UEA. Turnamen Hasanal Bolkiah di Brunei diikuti  serta Turnamen Cotif di Spanyol diagendakan, namun pada akhirnya Turnamen Cotif yang rencana diikuti mendadak dibatalkan oleh PSSI. Pada akhirnya PSSI mengganti partai ujicoba dengan tim-tim macam Barcelona B, Madrid B, Atletico Madrid B yang tampil di Segunda Divison.. Semua itu dilakukan sebagai ajang dan persiapan mengadapi Piala Asia U 20 di Myanmar. Namun pada akhirnya apa yang terjadi? Mungkin kita sudah tahu diawal bahwa kita tidak akan pernah menjadi juara. Benar saja bahwa pada fase penyisihan timnas garuda muda babak belur dihajar Uzbekistan dan UEA sehingga gagal mewujudkan mimpi ikut Piala Dunia. Pada awalnya banyak publik bola di tanah air berharap bahwa ini lah cikal bakal timnas garuda muda sesungguhnya namun pada akhirnya berujung pada kekecewaan.

Timbul banyak pertanyaan tentang kemana prestasi timnas  kita? sedemikian banyak penduduk kita untuk mencari 11 pemain berkualitas aja tidak bisa? Bagaimana dengan sistem pembinaan sepak bola di negara kita? lantas siapa yang perlu di salahkan? apakah  PSSI? Atau pemerintah dengan Kemenporanya? Mulai dari mana kita berbenah? Begitulah beragam pertanyaan muncul dari masyarakat sepakbola di tanah air.


Berikut ini beberapa catatan yang mungkin dapat dijadikan sarana evaluasi bagi pengelolan sepakbola nasional kita ke depan, diantaranya adalah :
  1. Sepak bola dan politik 
  2. Dualisme kompetisi 
  3. Mafia bola, bandar judi dan pengaturan skor.
  4. Proses pembinaan pemain usia muda dan kompetisi reguler
  5. Sarana infrastruktur dan sport science
  6. Profesionalisme, transparansi dan legalitas 






Tidak ada komentar: