Beberapa bulan terakhir ini media sosial maupun elektronik
sangat gencar memberitakan “kekisruhan” antara PSSI dengan Kemenpora.
Pertanyaanya adalah mengapa sedemikian gencar? Bahkan menjadi treding topik
dalam berbagai media harian lokal maupun nasional? Pada dasarnya jawabannya
adalah sederhana bahwa masalah itu sangat erat kaitannya antara sepak bola dan
politik. Dua hal itu adalah sangat
berbeda, sebab sepak bola adalah ranah dalam bidang olahraga sedangkan poltik
adalah cara seseorang atau sekelompok orang untuk menguasai tampuk kekuasaan
dalam suatu pemerintahan. Jelas dua hal yang sangat-sangat berbeda. Meskipun
berbeda tetapi jika kita telusri benang
merahnya pasti ada ketemu.
Kita tahu bahwa sepakbola adalah olahraga yang paling populer dan paling digemari oleh penduduk
bumi ini tak terkecuali di negara kita tercinta. Sepak bola adalah olahraga
yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan olahraga lain karena sepakbola
merupakan suatu simbol pemersatu bangsa. Boleh dikatakan bahwa sepak bola
adalah salah satu simbol nasionalisme bangsa. Begitu membahana dan begitu gegap
gempita ketika banyak orang antusias mendukung tim kesayangannya dengan datang
langsung ke stadion.
Kita ingat tahun 2010 yang lalu ketika timnas Indonesia bertempur
di AFF Suzuki Cup. Kebetulan Indonesia jadi tuan rumah ajang dua tahunan yang
diikuti negara-negara ASEAN tersebut. Timnas Indonesia belum pernah juara
diajang tersebut, paling mentok hanya runnerup beberapa kali artinya timnas
garuda hanya mentok sampai partai final tetapi untuk urusan membawa thropy
juara tidaklah pernah kesampain. Ekpestasi dari masyarakat bola tanah air yang
begitu tinggi pada waktu itu agar timans garuda meraih juara.
Benarsaja permainan menarik dan atraktrif dengan gaya tiki
takanya Barcelona FC selalu diperlihatkan Firman Utina cs kala bersua
musuh-musuhnya. Kemenangan demi kemenangan selalu diraih pada tiap pertandingan
dengan permainan yang menawan dan menggairahkan. Masyrakat dari penjuru tanah
air berbondong-bondong datang ke Gelora Bung Karno untuk mendukung dan melihat
langsung bintang-bintang pujaan mereka. Stadion berkapasitas 100 ribu penonton
penuh sesak dan tampaknya stadion tebesar di Asia Tenggara tersebut tidak mampu
lagi menampung jumlah penonton yang begitu banyak. Kejadian itu memaksa panitia
pelaksana atau panpel memasang layar lebar di luar stadion agar penonton yang
datang tidak terlalu kecewa. Bagi jutaan penggemar sepak bola di tanah air yang
tidak sempat nonton langsung di stadion, dapat menikmati permainan yang memikat
itu di tv swasta nasional. Hal ini menjadi suatu fenomena yang luar biasa bahwa
sepakbola ternyata dapat menumbuhkan semangat nasionalisme. Semua masyarakat
dari berbagai daerah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke bersatu padu
memberi dukungan dan semangat kepada timnas Indonesia.
Pada saat itu aku juga merasakan euforia dan begitu luar biasa permainan Ahmad Bustomi cs,
permainan yang sangat menghibur dan tidak membosankan. Pada akhirnya timnas
yang ditangani Alfred Ridel sampai ke partai puncak melawan Malaysia. Sangat
disesali ketika bermain di St. Bukit Jalil tuan rumah Malaysia menang telak 3
gol tanpa balas. Kejadian itu sangat disayangkan oleh berbagai pihak karena
pada saat babak penyisihan Oktavianus Maniani & Irvan Bahdcim cs menang telak 5-1. Hasil yang
sangat diluar dugaan gawang Markus Horison bisa dibobol dengan mudahnya oleh
Syafie Shali cs. Meskipun dikandang kita bisa menang 2-1 lewat goal Muhammad
Nasuha tapi hal itu sama sekali tidak bisa membantu timans garuda merasakan
gelar untuk pertama kalinya. Padahal, tinggal selangkah lagi. Dengan hasil ini
kita bisa merasakan bagaimana begitu kecewanya masyarakat bola di tanah air.
Beda lagi dengan kisah Timnas U19 yang mencuat setelah
menjuarai AFF U19 dan lolos ke Piala Asia U 19 pada tahun 2013 lalu. Evan Dimas dan
kawan-kawan begitu dielu-elukan oleh para pecinta bola di tanah air. Diliat
dari cara mereka bermain benar-benar sangat menarik dan menggairahkan serta tak
kenal lelah. Bahkan sebelum mereka
menjuarai even tersebut mereka sudah lebih dulu juara 2 kali di salah satu
turnamen sepakbola internasional di Hongkong. Maka tak heran kemudian Zulfiandi
cs ditargetkan masuk 4 besar Asia sehingga dapat jatah tiket langsung untuk
ikut Piala Dunia di Selandia Baru tahun 2015.
Indra Syafrie sepagi pelatih kepala pada waktu itu
mensyaratkan setiap pemain harus memiliki
skill, teknik, stamina, intelegensia dan mental yang baik. Syarat yang begitu kompelt sebagai pemain
sepakbola, sehingga memaksa coach dari Padang tersebut harus rela “blusukan” ke
seluruh pelosok tanah air mencari bakat-bakat muda yang berpotensi melambungkan
dan membawa kejayaan bagi timnas indonesia. Hasilnya pada saat itu kita bisa
melihat aksi-aksi yang menawan oleh sosok Ilham Udin Armayn dari Ternate Maluku
Utara, Zulfiandi dari Aceh, Maldini Pali dari Mamuju Sulawesi Barat, Yabes Roni dari Flores NTT, Sahrul
Kurniawan dari Ngawi, Muchils Hadi dan Hansamu Yama dari Mojokerto, Dinan
Xavier dari Bantul Jogjakarta hingga sang super star Evan Dimas dari Kota
Pahlawan Surabaya.
Dengan berbagai program latihan yang teratur dan disiplin
telah membuat mereka menjadi juara dan meraih berbagai prestasi serta
telah menjadikan mereka bintang-bintang
muda yang terkenal pada waktu itu. Berbagai tawaran iklan dan program dari
televisi swasta mulai berdatangan. Namun menejemen dan tim pelatih telah
sepakat bahwa pemain harus fokus untuk berlatih agar dapat mewujudkan mimpi
tampil di Piala Dunia U 20. Program Tur
Nusantara baik Jili 1 dan 2 dimana
timnas U 19 bertanding melawan tim lokal U 21
digulirkan. Tur Timur Tengah dilakukan dengan melawan kesebelasan
dari negara-negara Arab seperti UEA.
Turnamen Hasanal Bolkiah di Brunei diikuti
serta Turnamen Cotif di Spanyol diagendakan, namun pada akhirnya
Turnamen Cotif yang rencana diikuti mendadak dibatalkan oleh PSSI. Pada
akhirnya PSSI mengganti partai ujicoba dengan tim-tim macam Barcelona B, Madrid
B, Atletico Madrid B yang tampil di Segunda Divison.. Semua itu dilakukan
sebagai ajang dan persiapan mengadapi Piala Asia U 20 di Myanmar. Namun pada akhirnya
apa yang terjadi? Mungkin kita sudah tahu diawal bahwa kita tidak akan pernah
menjadi juara. Benar saja bahwa pada fase penyisihan timnas garuda muda babak
belur dihajar Uzbekistan dan UEA sehingga gagal mewujudkan mimpi ikut Piala
Dunia. Pada awalnya banyak publik bola di tanah air berharap bahwa ini lah
cikal bakal timnas garuda muda sesungguhnya namun pada akhirnya berujung pada
kekecewaan.
Timbul banyak pertanyaan tentang kemana prestasi timnas kita? sedemikian banyak penduduk kita untuk
mencari 11 pemain berkualitas aja tidak bisa? Bagaimana dengan sistem pembinaan
sepak bola di negara kita? lantas siapa yang perlu di salahkan? apakah PSSI? Atau pemerintah dengan Kemenporanya? Mulai
dari mana kita berbenah? Begitulah beragam pertanyaan muncul dari masyarakat
sepakbola di tanah air.
Berikut ini beberapa catatan yang mungkin dapat dijadikan
sarana evaluasi bagi pengelolan sepakbola nasional kita ke depan, diantaranya adalah :
- Sepak bola dan politik
- Dualisme kompetisi
- Mafia bola, bandar judi dan pengaturan skor.
- Proses pembinaan pemain usia muda dan kompetisi reguler
- Sarana infrastruktur dan sport science
- Profesionalisme, transparansi dan legalitas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar